HUBUNGAN ANTARA ASESMEN KEBUTUHAN, PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Risma Hastuti
Universitas Negeri Surabaya
Jl. Ketintang 9, Surabaya
Email: az_zahra_cieb@yahoo.co.id

Abstrak: Asesmen kebutuhan akan menjadi perangkat yang esensial dalam pengelolaan sekolah. Dalam kaitannya dengan standar pengelolaan satuan pendidikan, sistem perencanaan pengembangan lembaga yang diterapkan pada setiap sekolah harus mampu memfasilitasi dan mengakomodasi lima pilar utama yang digariskan dalam standar pengelolaan itu kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Pengambilan keputusan akan lebih baik jika didasarkan atas analisa dan penilaian yang cermat dari pada keputusan yang hanya didasarkan atas instuisi. Pengambilan keputusan yang baik dari kepala sekolah akan mempu mengefektifkan implementasi dari manajemen berbasis sekolah dengan memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Agar implementasi berjalan dengan baik maka harus ada hubungan baik antara guru dengan murid, guru dengan guru serta sekolah dengan masyarakat.

Abstract : The needs assessment will be essential in the management of the school. In relation to the standard of management education unit, system development planning agency that apply to every school must be able to facilitate and accommodate five pillars outlined in the standard management of that independence, partnership, participation, transparency, and accountability. Decision-making would be better if it was based on a careful analysis and assessment of the decision based solely on intuition. Good decision-making from the school principal will mempu streamline the implementation of school-based management by authorizing the school to carry out the management and continuous quality improvement. It can also be said that the school-based management is essentially a resource harmonization carried out independently by the school by involving all interest groups (stakeholders) associated with the school directly in the decision-making process to meet the needs of improving the quality of the school or to achieve national education goals. That the implementation goes well there should be good relations between teachers and students, teachers with teachers and school communities.

Pendahuluan
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan manajemen berbasis sekolah (school based management) sebagai prinsip utama yang harus dipegang taguh dalam pengelolaan semua satuan pendidikan. Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 49 ayat (1) pada Peraturan Pemerintah ini menyatakan: “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.”
Untuk menjamin terimplementasikannya manajemen berbasis sekolah, PP nomor 19/2005 tersebut juga menetapkan bahwa proses pengambilan keputusan di tingkat satuan pendidikan juga harus sejalan dengan nafas manajemen berbasis sekolah. Pada intinya pengambilan keputusan harus dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholders) yang terwadahi dalam Komite Sekolah.
Terkait dengan Pengambilan Keputusan, beberapa hal penting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut meliputi bidang-bidang pengambilan keputusan, prosedur pengambilan keputusan dan pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan itu. Pengambilan keputusan bidang akademik dilakukan melalui rapat Dewan Pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah. Sedangkan bidang non-akademik pengambilan keputusan dilakukan oleh komite sekolah/madrasah yang dihadiri oleh kepala sekolah. Rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah dilaksanakan atas dasar prinsip musyawarah mufakat yang berorientasi pada peningkatan mutu satuan pendidikan.
Rencana kerja yang harus dibuat oleh satuan pendidikan meliputi Rencana Kerja Jangka Menengah (4 tahun) dan Rencana Kerja Tahunan. Rencana Kerja Satuan Pendidikan dasar dan Menengah harus harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah/Madrasah.
Beberapa standar pengelolaan yang dikemukakan di atas mengisyaratkan bahwa sejak saat ini sekolah sebagai satuan pendidikan memiliki peran, wewenang dan tanggung jawab yang sangat strategis dan jauh lebih luas di bandingkan masa sebelumnya. Sekolah dituntut untuk lebih mandiri, lebih mampu membangun hubungan kemitraan dengan dan memperkuat partisipasi semua pemangku kepentingan (stakeholders), bersikap lebih terbuka dan akuntabel.
Dalam pengelolaan yang demikian itu, proses perencanaan akan menjadi perangkat yang esensial dalam pengelolaan sekolah. Dalam kaitannya dengan standar pengelolaan satuan pendidikan, sistem perencanaan pengembangan lembaga yang diterapkan pada setiap sekolah harus mampu memfasilitasi dan mengakomodasi lima pilar utama yang digariskan dalam standar pengelolaan itu kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Pembahasan
A. Model Konseptual Untuk Asesmen
Seluruh evaluasi pendidikan adalah bersifat perbandingan dalam arti bahwa apapun yang dievaluasi dibandingkan dengan yang lain.
Model Input-Environment-Outcome (IEO)
Diprediksi berdasar asumsi bahwa prinsip yang berarti bahwa asesmen dapat digunakan untuk memperbaiki praktek pendidikan lewat pembaruan pendidikan tentang efektivitas perbandingan dari kebijakan pendidikan yang berbeda. Model IEO didisain secara khusus untuk menghasilkan informasi tentang hasil yang dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan yang berbeda.
Tujuan dari perencanaan yaitu untuk memberikan semacam jembatan atau penghubung antara pengetahuan yang berguna dengan tindakan penghubung yang memiliki tujuan. Perencanaan digunakan untuk mengumpulkan kontrol untuk masa depan lewat tindakan yang dilakukan. Pendapat para ahli tentang pengertian perencanaan antara lain:
1. Fayol, mengatakan bahwa perencanaan adalah “rencana operasi” yang menyangkut objek dalam pandangan atau persiapan untuk masa depan.
2. Luther Gulick, menjelaskan bahwa perencanaan bekerja di luar suatu outline yang harus diselesaikan demi pemenuhan tujuan.
3. Edward Banfield, mengartikan perencanaan sebagai proses dimana seseorang memilih tindakan untuk mencapai hasil akhir yang baik.

B. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai pemilihan pada tindakan tertentu dari antara begitu banyaknya persaingan alternatif yang memungkinkan. Pengambilan keputusan adalah identifikasi dari satu alternatif yang kelihatannya menjadi sesuai dari antara alternatif lainnya. Nilai memainkan peran yang penting dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan yang sesuai adalah didasarkan pada kapasitas untuk mengakses kesenangan, untuk menukarkan keuntungan dan kerugian, dan untuk menentukan konsekuensi masa depan dari sistem nilai. Pembuat keputusan yang efektif dapat menanggulangi perbedaan opini dan ketidaksetujuan.
Adams, menyatakan konsep dasar pengambilan keputusan yang efektif:
1. Perseptual, adalah rintangan yang mencegah mereka-mereka dalam menyelesaikan masalah, baik bagi mereka yang merasakan masalah itu sendiri maupun informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah.
2. Emosional, mencegah kita untuk dapat mengkomunikasikan ide kepada orang lain yang dapat berakibat pada penerimaan mereka terhadap ide tsb.
3. Budaya dan lingkungan, membuat kita terikat kepada budaya dan lingkungan dalam pengambilan keputusan.
4. Intelektual dan ekspresif, disebabkan oleh kurangnya kemampuan intelektual dan verbal.
Administrator secara tradisional menggambarkan kewenangan pengalaman personal dan alasan yang logis untuk menunjang mereka dalam membuat keputusan. Kewenangan adalah untuk mencari nasehat dari sumber yang ahli dan memiliki kekuatan.
Problem-solving adalah alat yang digunakan setiap waktu untuk mengubah sesuatu. Pengambilan keputusan sesungguhnya adalah langkah dalam proses problem-solving, tetapi adalah langkah penting yang membutuhkan langkah lain untuk mencapai efektivitas. Tahapan dalam Problem-Solving:
1. Menetukan situasi suatu masalah menyangkut putusan yang akan dibuat.
2. Menyertakan peneliti untuk mencarai solusi alternatif.
3. Konsekuensi dari alternatif memberikan konteks organisasi yang dieksport dan dievaluasi.
Proses Pengambilan Keputusan adalah tahap yang paling dramatik dari problem-solving karena merupakan inti dari usaha pengambilan keputusan. Kemungkinannya, metode yang paling umum untuk melakukannya adalah dengan berpikir dan berkata tentang alternatif solusi sampai mereka merasakan pada yang ada di pikirannya.
Langkah-langkah dalam DTA (Decision Tree Analysis)
1. Mengorganisasikan anatomi masalah dalam istilah diagram decision tree
2. Mengevaluasi konsekuensi pada percabangan terminal
3. Menandai kemungkinan untuk percabangan pohon
4. Menentukan strategi optimal
C. Konsep Dan Aplikasi Needs Assessment
Need Assessment, adalah alat untuk perubahan konstruktif dan positif tidak berubah biasanya diarahkan oleh kontroversi. Needs Assessment dikenal sebagai proses formal yang menentukan gap antara hasil sekarang dan hasil yang diinginkan. Need artinya gap antara hasil sekarang dan hasil yang diinginkan.
Sifat gap adalah bersifat kritikal. Needs assessment adalah penting untuk memiliki masalah yang tepat untuk resolusi dan akan melengkapi informasi yang penting dalam menentukan intervensi yang sesuai. “Ends” adalah hasil akhir, akibat produk yang terjadi ketika kita selesai dengan penerapan semua teknik, interverensi atau strategi. “Means” adalah alat dan prosedur, solusi dan bagaimana melakukan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Means dan Ends adalah beda dan saling berhubungan.
Perencanaan menjadi aktifitas yang bersifat kritikal dimana: (a) means dan ends dibedakan, (b) penuntun diberikan untuk administrator, pendidikan dan umum yang mengidentifikasi masalah serta bagaimana satu solusi dipilih untuk menyesuaikan keabsahan dan masalah yang berguna.
Conventional Wisdom biasanya dimulai dengan ujian dimana penentuan gap oleh pengujian outcome. Perencanaan menyatakan bahwa suatu aset adalah sah hanya pada tingkat di mana ia mengasses urusan kita. Pendekatan sistem adalah bersifat pragmatik.

D. Konsep Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. Tujuan Penerapan Model MBS
Desain pengelolaan sekolah menggunakan MBS bertujuan memberikan kekuasaan dan meningkatkan partisipasi sekolah dalam memperbaiki kinerja sekolah mencakup kepemimpinan sekolah, profesionalisme guru, layanan belajar peserta didik yang bermutu, manajemen sekolah yang bermutu, prtisipasi orangtua peserta didik dan masyarakat.
Menurut Satory (2001:5) penerapan MBS bertujuan:
1. Meningkatkan mutu pendidikan dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdaya sumber daya dan potensi yang tersdia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, sekolah, dan pemerintah tentang mutu sekolah.
4. Meningkatkan kompetensi yang sehat antarsekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan.
2. Prinsip MBS
Penggunaan model MBS menunjukkan bahwa manajemen sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan pengayaan kurikulum dalam berbagai bentuk. Misalnya menambah mata pelajaran yang ingin ditingkatkan kadar dan mutu pembejarannya, memperkaya pokok atau subpokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu yang dianggap penting dan relevan dengan konteks kebutuhan anak di sekolah, dan memberi perhatian khusus pada pengembangan bakat dan minat peserta didik.
Sesuai dengan prinsip tersebut, sekolah memiliki kewenangan menetapkan sumber pelajaran, fasilitas dan alat pembelajaran yang diperlukan seperti buku sumber atauu bahan texs book mata pelajaran yang akan dipakai, alat peraga dan media pendidikan, bahan-bahan yang digunakan di laboratorium dan bengkel kerja, dan melakukan pertumbuhan jabatan guru mapun tenaga kependidikan guna meningkatkan kinerja sekolah.
3. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
4. Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan hanya sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mencakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya.
Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan bantuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
5. Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
E. Hubungan Antara Asesmen Kebutuhan, Pengambilan Keputusan Dan Manajemen Berbasis Sekolah
Penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara birokratik-sentralistik telah menempatkan sekolah sebagai subordinasi yang sangat tergantung pada keputusan birokrasi diatasnya yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang diberlakukan kurang sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Karena sekolah lebih merupakan sub-ordinasi dari birokrasi di atasnya, maka keputusan yang dibuat pemerintah saat ini dengan penerapan MBS diharapkan sekolah mampu memajukan potensinya sesuai dengan kebutuhan lingkungan masyarakat.
Peran serta warga sekolah khususnya guru, karyawan dan siswa serta peran serta masyarakat khususnya orangtua siswa dalam penyelenggaraan sekolah sangat penting dalam mendukung implementasi MBS di sekolah. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan harus dipertimbangkan dan diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan, karena terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat seharusnya tidak sebatas pada dukungan dana, tetapi sekolah membutuhkan dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral, pisik, dan material belum optimal. Karena kesuksesan sekolah sangat memerlukan teamwork yang kompak, cerdas, dinamis, harmonis, dan lincah. Hal ini hanya akan terjadi apabila pertisipasi warga sekolah dan masyarakat maksimal. Partisipasi maksimal akan mampu meningkatkan rasa kepemilikan terhadap sekolah dan rasa kepemilikan akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah.
Esensi MBS adalah peningkatan otonomi sekolah, fleksibilitas dan peningkatan partisipasi dalam penyelenggaraan sekolah, baik partisipasi dari warga sekolah maupun masyarakat di sekitarnya melalui perwakilan komite sekolah. Ini berarti bahwa jika MBS ingin sukses, sekolah harus memperbanyak mitra, baik dari dalam maupun dari luar sekolah. Kemitraan dalam sekolah meliputi, antara lain, kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dst. Kemitraan sekolah dengan masyarakat sekitarnya meliputi, antara lain: kepala sekolah dengan komite sekolah, guru dengan orangtua siswa, kepala sekolah dengan kepala dinas pendidikan kabupaten/kota, dst.

Simpulan
Mengingat pendidikan di indonesia yang membutuhkan pembaharuan maka keputusan pemerintah dalam administrasi (manajemen) pendidikan yang terbaru adalah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS merupakan suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat.
Landasan yuridis terhadap pelaksanaan MBS terdapat dalam perundangan-undangan, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1 dan juga peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan hanya sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Penerapan MBS memberikan berbagai dampak dalam peningkatan mutu pendidikan. Diantara dampaknya seperti terciptanya lingkungan belajar yang efektif bagi siswa dan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Namun, juga banyak terdapat hambatan dalam menjalankannya seperti pihak-pihak struktural sekolah yang tidak ingin mendapat tambahan pekerjaan dan ketidakpahaman mereka terhadap aplikasi MBS itu sendiri.

Daftar Acuan

Abidin, Said Zainal. Edisi Revisi, 2004. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur siwah.
Fattah, Nanang. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Pustaka Bani Quraisy: Bandung.
Gunawan, Imam. 2010. MBS, Pendekatan dalam Manajemen Pendidikan Sekolah. [Online]. Tersedia: http://masimamgun.blogspot.com/. [7 Agustus 2010].
http//:kebijakan-mbs/manajemen-berbasis-sekolah/mbs-kumpulan-makalah-bantuan-bahan-makalah-pendidikan.htm [9 Agustus 2010]
http://thantien.blog.friendster.com/2008/09/hubungan-antara-asesmen-kebutuhan-pengambilan-keputusan-dan-manajemen-berbasis-sekolah/ [9 Agustus 2010]
Irawan, Ade, dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah: Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah Di DKI Jakarta. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.
Kusmanto. 2004. Menyoal Manajemen Berbasis Sekolah. Republika, Sabtu, 20 Maret 2004, halaman 6.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 2005. Jakarta: Sekretariat Jenderal Departeman Pendidikan Nasional.
Sagala, Syaiful. 2010. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: PT Alfabeta.

Tinggalkan komentar